Senin, 12 September 2011

Anti Humanitat - Sirkus Penuli #2

ANTI HUMANITAT ?


Menjadi semacam beban ketika penulis (pengarang) merasa dituntut untuk melahirkan karya yang baik yang harus menumbuhkan jiwa humanitat, yaitu jiwa yang santun, manusiawi dan berbudaya tinggi. Penulis justru harus mengabaikan beban itu. Sekali lagi saya katakan: "Jangan berpikir bahwa tulisan kita akan mampu mengubah dunia!"

Sebagai pemain sirkus (bukan penonton) biasakanlah menulis dengan santai tanpa beban. Perhatikan bahwa pada kenyataannya sebuah karya justru menohok (memikat) ketika penulis menuliskan sesuatu yang mengungkapkan situasi yang secara moral tidak (tidak boleh) terjadi.
Mainkan gayamu, tunjukkan banyak atraksi yang tak terduga!


Oleh : Donatus A. Nugroho



Komentar :


Jon Ali :
sy kok gak setuju, ya, Pak Donatus A. Nugroho? bukankah menulis justru untuk mengubah dunia? bukan malah terseret dunia? (semampu kita). sy kira malah menulis HARUS mempertimbangkan aspek2 humanis ini, menjadikan tulisan untuk memanusiawikan manusia. ada pun penuturan realitas yg 'liar', 'tidak santun', dan 'inhuman', ujung2nya untuk 'learning mistake', bukan? persis seperti penuturan Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari.

Donatus A. Nugroho :
Jon Ali silahkan. Kalau saya dan teman-teman saya sih menulis hanya untuk bersenang-senang. Dikau boleh mengubah dunia lewat tulisan, saya enjoy dengan memasak :)
Ini kan cuma igauan saya .... wkwkwkwkkkk
Jangan lupa, ada tanda tanya (?) di judul igauan saya ini.
Salam!

Jon Ali :
Pak Donatus A. Nugroho: haha..., judulnya ambigu, sih! sy penganut tema manusiawi (bukan penuturan manusiawi dan 'santun', ato bahkan yg sesuai EYD ... -__-) waktu sy bilang harus mempertimbangkan aspek2 manusiawi adalah tujuan akhir ceritanya, temanya, pesan2nya. menulis yg tidak manusiawi bukan berarti masuk golongan inhumanity, persis seperti wartawan yg memberitakan penggusuran dan pembunuhan sadis warga Palestina oleh Zionis tak bisa dikatakan menyetujui aksi Zionis. btw sy percaya think global act local. sadar tidak sadar semua tindakan kita berpengaruh pd lingkungan kita, baik skala lokal, ato global. hehe... jadi serius amat, yak? btw, berdasarkan rumus 'butterfly effect', enjoy memasak sambil ngigau di depan leptop, mengakibatkan gedung WTC ambruk 9/11, dan para koruptor lari ke negeri tetangga, loh! hehe... ^ ^

Eno Dee :
Mas om pak Jon Ali : menurutku gaya menulis sama dengan gaya berbicara kita,ada yg blak2an ketika bicara hal yang tidak dia sukai ada juga yang halus menolak,apakah karena kita tidak bisa berbicara lemah lembut lantas kita tidak bicara?begitu juga dengan menulis.. :)

Titie Surya :
Menulis tidak harus terpaku pada pakem. Bukan begitu suker Donatus A. Nugroho?
Menulis buat saya adalah sebuah kesenangan memainkan imaji yang bisa jadi santun dan pada suatu saat meliar dan menampar. Soal apakah tulisan saya akan mengubah dunia, pembacalah yang akan merasakannya. Menulis dengan kejujuran jauh lebih nikmat, meski yang diungkapkan adalah hal yang sering ditutupi dan selanjutnya menjadi penghuni labirin waktu dan ruang. Tapi apapun menulis adalah hak sang penulis. Menilai adalah hak pembaca dan ketika tulisan sudah dilempar maka matilah sang penulis, sepenuhnya hak menilai adalah milik pembaca. Tapi saya nggak pernah takut tulisan saya akan menjadi racun yang memabukkan dunia atau madu yang memaniskan dunia.
Menulis buat saya yaaa seperti proses saya memulaskan make up ke wajah, bukan untuk mengubah wajah saya tapi untuk membuat wajah saya terlihat lebih segar, nggak kucel dan semoga bisa menutupi sedikit jerawat yang tumbuh heheeheh

Donatus A. Nugroho :
Jika membaca dokumen ini dengan membuka penuh, akan terlihat kalimat-kalimat yang saya tebalkan (bold). Itu clue.
Karena kita pernah dan sedang belajar agama, urusan moral pasti melekat. Jadi menulis apapun ujung-ujungnya tetap pakai pertanggungjawaban moral, wahai Jon Ali. Itu otomatis.

 Titie Surya :
Setujuuuuuuuu dengan suker Donatus A. Nugroho, sebagai manusia yang peranh dan sedang belajar agama, otomatis karya kita pasti akan menyisipkan tanggung jawab moral di dalamnya seliar apapun tulisan itu. Tapi tetap.... saya ahanya akan menulis secara asyik-asyik saja, nyantai dan apa adanya. Karena menulis adalah proses bersenang-senang buat mengangkat dan mengedepankkan sebuah beban.

Dion Sagirang :
Menurutku, menulis itu seni. Tak ubahnya dengan lukisan. Seabstrak apapun lukisan, tetap seni kan?
Sama halnya dengan tulisan...

Jon Ali :
Pak Donatus A. Nugroho: bold kedua is okay! setuju bae, lah! tp yg bold pertama tetep gak setuju, ah! (hehe..., sori, jadi murid bandel...) bukan masalah agama ato apa, tapi lebih penting dari itu, kesadaran bahwa kita (siapa pun orangnya, apa pun agamanya, apa pun profesinya) mempunyai andil (sengaja ato tidak, sadar ato tidak) dalam perbaikan ato kerusakan lingkungan/masyarakat kita. apalagi penulis, yg ide2nya akan menyebar dan otomatis mempengaruhi banyak orang, kan? lah, kalo bukan kita yg merubah (semampu kita) trus siapa? mosok ngimpi para koruptor tobat ala sinetron tipi...????

Faradina Idzhihary :
Pada dasarnya Mas DAN tidak mendukung karya yang mengusung hal-hal yang kurang sreg bagi masyarakat. Dia hanya mengajak kita tidak membebani diri dengan tugas-tugas humanis saat menulis. Itu akan membuat tulisan kita lebih alami. Hm, menurut saya, di jaman carut marut sekarang, yang terpenting adalah berbuat yang terbaik dimulai dari diri sendiri. Bayangkan bila semua individu bersikap begitu, maka negeri ini akan jadi bagus. Benar, kita tidak mungkin mengubah dunia.
  
Nimas Aksan :
Tapi....tapi...tapii...menulis adalah masalah 'mempengaruhi' orang lain, niat ataupun tidak. Bertanggungjawab atas tulisan yang kita buat, itu lebih baik. Merubah dunia, mungkin tidak bisa, tapi merubah satu dua individu, tentu bisa. Tanpa mengurangi atraksi jenius kita untuk menulis, tetaplah berorientasi, bahwa tulisan kita ada untuk dibaca, dan 'mempengaruhi'. 


Sumber :
Perpustakaan Yayasan Cendol Universal NikkO + MayokO AikO

0 komen: