Selasa, 31 Januari 2012

Menuliskan Galau Tanpa Malu - Sirkus Penulis #26

MENULISKAN GALAU TANPA MALU
(Tentang Katarsis)



Sebuah Quote : Menulislah dan jangan bunuh diri.

Saya selalu menganjurkan agar penulis selalu gelisah supaya tulisannya mengalir dan memiliki jiwa. Selanjutnya adalah ajakan untuk segera menulis ketika kita tengah mengalami kegalauan kecil atau besar.

Meluapkan emosi ke dalam tulisan terbukti digunakan oleh para ahli ilmu jiwa untuk mengatasi gangguan psikis, termasuk di dalamnya adalah menyalurkan emosi negatif. Emosi (baik dan buruk) butuh disalurkan, dan bagi penulis, ini adalah modal untuk melahirkan satu atau beberapa tulisan sekaligus. Proses yang disengaja inilah yang disebut sebagai katarsis, yaitu upaya "penyucian", "pembersihan", dan pelepasan diri dari ketegangan perasaan. Yang merasa gagal bisa menuliskan keberhasilan, yang kecewa bisa menuliskan tercapainya harapan dan cita-cita. Lewat tulisan keinginan dan mimpi bisa dituangkan. Kegalauan dan kemarahan memiliki saluran sehingga tidak tersumbat menjadi gangguan jiwa. Bahkan lewat tulisan kita bisa menasehati dan menuntun diri sendiri kepada solusi yang benar. Ingat bahwa tulisan memiliki tanggung jawab moral untuk menyampaikan kebenaran.

Sekali dayung dua-tiga pulau terlampaui. Emosi mereda, karya tersedia.

Jika galau jangan bunuh diri, tapi menulislah. Tuangkan perasaan marah, sedih, sakit, takut, frustasi, pada fiksimu. Luapkan semua hal yang ingin kamu sampaikan tanpa perlu takut dicela dan dipermalukan.

Caranya sangat mudah: lakukan akrobatik sederhana, ubah semua tokoh di dalamnya, termasuk dirimu sendiri (jika memakai POV 1) sehingga semua jadi tersamarkan. Jika masih ragu mulailah mengawali tulisan dengan: “Aku ingin berterus-terang ....”

Jika kemarin kamu masih ragu dan malu, kini saatnya untuk memanfaatkan galaumu. Selamat galau dan mencoba.
Oleh : Donatus A. Nugroho
Komentar :
maksud kesengajaan apa ya. Suker Donatus A. Nugroho?....*bingung tingkat tinggi
Dengan kesengajaan dan harus segera, Kak A. Kalau galaunya hari ini dan menuliskan kegalauannya beberapa hari kemudian, feel-nya nggak dapat.
Donatus A. Nugroho ‎:
Sengaja, tidak asal, bukan sekedar main embat tapi menjadikan galau sebagai modal dasar saja, selanjutnya terserah anda .... :
Donatus A. Nugroho ‎:
Betul Kak Zahra A. Harris. Jangan sampai emosinya jadi menurun karena tertunda.
Donatus A. Nugroho ‎:
Keluhan ketika 'menulis curhat' adalah malu. Di atas ada cara sederhana untuk mengatasi itu.
Om DAN, kalau lagi marah kita tuangka ke tulisan, gak akan mempengaruhi ke-objektif-an kita kan ya?
Donatus A. Nugroho :

Nggak apa-apa, Siti Barkah, selama pada akhirnya kita kembali ke koridor kebenaran dan kelayakan. <--- tanggung jawab moral penulis.
Oke, oke om Batman..
Aku pernah denger didunia sastra gak ada egois yang ada idealis, apa itu termasuk kita bebas memperlakukan tokoh cerita kita sesuai sudut pandang kita (Sedikit gak objektif)?
Donatus A. Nugroho ‎:
Tentu saja. Mana ada penulis fiksi yang benar-benar obyektif.
Sisi positif dari galau, marah, dan luapan emosi..
Ketika marah, sedih, terluka lebih baik saya diam, masuk kamar, buka buku, menulis. Itu cara jitu meredakan emosi bagi saya, apalagi sampai nangis-nangis (lebay dikit ah)... ^^
*Terimakasih om Don, sangat bermanfaat..
POV itu apa Om DAN?
Nelvianti Virgo: POV itu Poin Of View atau sudut pandang.. *jelasin diam-diam           
Sumber :

Senin, 30 Januari 2012

Self Editing - Sirkus Penulis #25

SELF EDITING


Bukan rahasia, redaktur dan editor menyukai naskah yang tidak hanya rapi, tapi juga benar, sehingga tugasnya menjadi lebih ringan. Maka sudah seharusnya penulis memperhatikan betul kerapian (sesuai standar) dan kebenaran naskahnya dalam hal penulisan.

Tak hanya terjadi pada penulis pemula, penulis senior pun masih sering melakukan kesalahan dalam menulis. Hal ini terjadi selain pada terbatasnya pengetahuan juga karena ketidaktelitian.

Membaca berulang kali adalah cara yang paling mudah untuk menemukan kesalahan ketik, tetapi untuk meyakini bahwa tulisan kita benar, diperlukan orang lain untuk meneliti dan menemukan kesalahan kita. Terkadang karena terlalu sering membaca naskah yang sama (karya kita sendiri) kejelian justru berkurang.

Jadi, self editing sebenarnya bukan hanya meneliti karya sendiri, melainkan juga melibatkan orang lain sebelum akhirnya naskah kita serahkan kepada editor atau redaktur. Kesalahan yang biasanya terjadi adalah pada ejaan, tanda baca, morfologi (pembentukan kata) dan logika. Pada dua hal yang terakhir inilah orang lain yang kompeten diperlukan.

Tips self editing paling majur sebenarnya adalah meneliti naskah setelah di print out. Akurasi ketelitian lebih terjamin ketika melihat hard copy daripada membaca di monitor. Itulah alasan kenapa beberapa redaksi dan editor lebih menyukai kiriman naskah dalam bentuk hard copy.

Jumpalitan mengedit naskah sendiri? Harus! Karena yang pertama adalah: benar, baru setelahnya: bagus.



Oleh : Donatus A. Nugroho


Komentar :

ini pesan Om Farick Ziat juga waktu itu, Om. beliau bilang 'jadilah editor yang objektif pada tulisanmu' dan itu sedang saya pelajari dan coba terapkan.
Terkadang membuat diri sendiri jenuh, Pak. Itu bagaimana mengatasinya?
Donatus A. Nugroho ‎:
Butuh hari lain untuk melakukan self eiting, Hardia. Biarkan mengendap dulu.
Yey..
Tapi, biasanya yang sering terjadi penulis sukar meneliti karyanya sebelum dikirim ke redaksi... pikirnya sudah beres, habisnya untuk mencari ide atau melanjutkan cerita saja sudah berulang-ulang membaca dari awal, jadi bosen deh *termasuk saya

Libatkan orang lain, temanmu, Nurhikmah.

Meskipun cerpen yang kita buat hanya sekali duduk dan jadi saat itu. Kita tidak perlu gegabah untuk cepat - cepat mengirimnya jauh hari sebelum deadline yang di minta. Alangkah lebih baiknya kalau sudah jadi disimpan dulu dan kita perhatikan dengan teliti dan jeli dimana letak kesalahan naskah yang kita ketik. Jika sudah benar-benar yakin akan naskah yang kita edit sudah mantap maka kirimlah segera dengan harapan bahwa naskah kita di terima. Ini pendapatku.
Setelah diendapkan beberapa saat, proses editing akan lebih oke. Apalagi kalau kita sudah agak 'lupa' dengan tulisan tersebut. :D
oh iya biasanya kalo kita udah agak lupa, akan lebih obyektif dalam menilai karya kita sendiri, aku aja pernah baru nyadar tulisanku ancur setelah kebaca seminggu kemudian *kelamaan gak ya?
 
 
Sumber :

Jumat, 27 Januari 2012

Fiksi Persuasi - Sirkus Penulis #24

FIKSI PERSUASI


Di bagian sebelumnya kita pernah membahas tentang menulis tanpa beban, tanpa keinginan untuk mengubah dunia. Namun sesekali karena tuntutan diri sendiri, tuntutan pihak kedua atau tuntutan keadaan, ‘memaksa’ kita untuk menyampaikan pesan penting dan serius di dalam fiksi kita.

Sirkus Penulis kali ini mengajak kalian untuk mengenal fiksi persuasi, yaitu karangan yang bertujuan mempengaruhi atau langsung mengajak pembaca untuk berbuat sesuatu. Istilah mudahnya adalah kisah yang mengandung unsur kuat propaganda. Dalam fiksi persuasi pengarang mengharapkan adanya sikap motorik, yaitu tindakan yang dilakukan oleh pembaca sesuai dengan yang dianjurkan oleh penulis dalam kisahnya.

Sedikit berbeda dengan fiksi biasa, maka pada fiksi persuasi selain penulis mempersiapkan tema, membuat outline dan mengembangkannya, penulis perlu sedikit berjumpalitan untuk merumuskan tujuan dan mengumpulkan data dari berbagai sumber dan keterangan demi kebenaran dan akurasi pesan inti yang ingin disampaikannya.

Contoh tema dalam fiksi persuasi: Membuka Dunia Melalui Membaca; Menjaga Air Untuk Anak Cucu; Berteman Dengan Penyandang AIDS; Say No to Drugs.

Tema-tema yang sepintas hanya cocok untuk pidato dan karya ilmiah pun bisa diwujudkan dalam fiksi. Seringkali pula jenis fiksi seperti ini dilombakan dengan tema yang telah ditentukan.

Oleh : Donatus A. Nugroho
Komentar :
persuasifnya tersurat atau tersirat yang paling bagus?

adakah buku-buku yang direkomendasikan untuk dibaca, ya setidaknya sebagai langkah awal untuk bisa menuliskan fiksi persuasi *masih blank
Donatus A. Nugroho ‎:
Antologi "Perempuan Itu ... Sesuatu" yang dikawal oleh Perempuan Fiksi pun bisa diisi dengan fiksi persuasi.
Mbak Wiwik Hafidzoh: mungkin buku-buku pengayaan bisa jadi contoh, Fiksi persuasi.
Donatus A. Nugroho ‎:
Fiksi anak sangat sering bebentuk fiksi persuasi dengan tema pengetahuan dan pendidikan moral, misalnya.
bukan essay ya?
Donatus A. Nugroho ‎:
Essay itu non fiksi, Sakura Hinata.
mengajak pada hal positif tapi tidak menggurui begitu?
Donatus A. Nugroho ‎:
Soal positif atau negatif sangat relatif, Ambia Mursalin Iskandar II. Seringkali propaganda politik di Amerika (kelak juga d Indonesia) disisipkan dalam fiksi, yang bagi lawan politiknya tentu saja negatif.
Donatus A. Nugroho ‎:
Persuasi disini diartikan sejak awal memang fiksi sudah direncanakan sebagai propaganda, ajakan, bujukan, anjuran. Sementara fiksi biasa bisa tiba-tiba persuatif tanpa disengaja. Meskipun sama-sama persuatif, tapi keduanya akan berbeda 'penampakannya'.
mengajak kepada satu pemikiran dengan membawa pendapat/pandangan si penulis gitu ya Om Donatus A. Nugroho?
Berteman dengan Penyandang AIDS <-- tema yang sejak setahun lalu kuhindari. :(
Donatus A. Nugroho ‎:

Citra Widayanti, yang harus dihindari adalah tema yang tidak kita kuasai secara benar, karena fiksi persuasi harus menunjukkan akurasi data, fakta dll.
kalau memang fiksi persuasi ini membutuhkan akurasi data dan fakta, berarti ini bukan murni fiksi ya Om Donatus A. Nugroho tetapi semi non fiksi
Donatus A. Nugroho ‎:
Menjadi fiksi karena kemasannya, Wiwik Hafidzoh.
om Donatus A. Nugroho, menyambungkan komentar untuk Citra Widayanti, berarti kalau saya mau ngajak orang lain untuk peduli dengan kaum difabel (penyandang cacat), saya harus benar-benar menguasai tentang ini ya om?
Donatus A. Nugroho ‎:

Tri Lego Indah: walau tidak selalu, tapi kebanyakan fiksi persuasi lebih sering menomorduakan estetika, karena pesan jauh lebih dipentingkan.
tulisan-tulisan berlatar sejarah, banyak juga yang Fiksi Persuasi ya Om?
hmm... buku berlatar sejarah, kepercayaan, dan ideologi sering termasuk jenis ini rupanya...
hmm... pesan, ajakan, data, dan pendapat
Donatus A. Nugroho ‎:
Tidak Ambia Mursalin Iskandar II, fiksi persuasi tidak menyampaikan pemikiran dan pandangan penulis, melainkan message khusus dari pihak kedua.
Faktanya aku tau, karena aku pernah bergaul sama penyandang AIDS. Orangnya baik, alim, pergaulannya juga dengan orang baik-baik. Pas semua tau penyakitnya, banyak yang hampir gapercaya. *curcol* #nangislagi 
Tanya: Fiksi jenis ini bisa digunakan pada cerita komedi nggak, pak?
Genrenya bisa macam-macam, Hadi Ku. Tapi kan ada tema-tema tertentu yang tidak bisa dikomedikan, misalnya.
  
Sumber :

Kamis, 26 Januari 2012

Menyundul Judul - Sirkus Penulis #23

MENYUNDUL JUDUL

Ingat tidak, betapa seringnya kita mendengar penulis mengalami kesulitan dalam membuat judul karangannya? Seringkali pula di saat tulisan sudah selesai, judul masih di awang-awang. Kamu juga mengalaminya?

Walaupun pada kenyataannya banyak cerpen, novelet atau novel menjadi fenomenal padahal judulnya sangat biasa, bahkan terkadang hanya satu kata atau berupa nama orang, namun tak bisa dipungkiri fakta bahwa seringkali orang lebih terpikat membaca sebuah cerita berdasarkan judulnya. Kadang karena bombastis, karena menimbulkan rasa kepenasaran, atau karena judul itu merupakan satu rangkaian kata yang manis dan indah. Judul yang menghipnotis calon pembaca!

Bagaimana menciptakan judul yang mampu mensugesti agar pembaca berkeinginan atau tertarik untuk membaca?

Ketika hendak membuat judul sebuah karangan atau tulisan, sebaiknya kita memperhatikan dan meneliti lagi isi karangan. Menemukan intisari yang hendak disampaikan dan mewakilkannya ke dalam satu atau serangkaian kata. Singkat, dan menarik. Tidak terlalu umum dan merangsang imajinasi. Meski hendak menggambarkan isi karangan, namun bukan berarti cerita kita lantas menjadi mudah ditebak isinya hanya dengan membaca judulnya. Misalnya: “Akhir Sedih Perjalanan Cinta”, selain judul ini terasa basi, juga terlalu gamblang memperlihatkan isinya. Orang akan lekas menduga ini kisah picisan, kisah cinta yang diakhiri dengan tragedi. Dan memang demikianlah adanya.

Trik untuk membuat judul yang menarik diantaranya adalah menghindari judul yang sudah sangat lazim, seperti misalnya “Derita Cinta”, “Malam Sunyi”, “Patah Hati”. Coba dengan sedikit modifikasi, maka judul akan menjadi “Derita Cinta Dusta”, “Malam Tak Bertepi” dan “Patah Hati Jadi Tiga”. Sekedar contoh judul yang lebih menarik.

Judul yang up to date, kekinian dan tidak kuno terlihat pada misalnya “Perempuan Itu ... Sesuatu” yang sengaja mengambil jargon dan bahasa gaul yang sedang menjadi trend saat ini. Pada judul “Cermin Hati” kita merasakan judul yang universal, sengaja multitafsir sekaligus bisa diuraikan secara filosofis. Pengalaman lain saya sebagai editor adalah mengganti judul “My Last Wish” menjadi “Kiss Me and Let Me Die”. Dari judul yang sudah sangat lazim dipakai menjadi judul yang misterius dan sedikit bombastis. Lebih menghipnotis, kan?

Mengingat menulis adalah sebuah kegiatan seni merajut kata menjadi kalimat-kalimat bermakna, judul lebih spesifik lagi karena ia adalah kepala yang langsung menyundul segala indera calon pembaca (dan sebenarnya juga penulisnya sendiri).

Uraian di atas adalah manfaat dan pengaruh judul bagi pembaca atau calon pembaca. Lalu apa manfaat judul bagi pengarangnya sendiri? Judul adalah kepala. Dari sanalah mengalir cerita, dari sanalah cerita dikembangkan. Ia adalah sebuah ruang yang dibatasi oleh dinding-dinding, yang membuat cerita bergulir tapi tak keluar dari ruang tersebut. Ia memberikan batas, kemana kisah boleh bergerak dan dimana ia harus behenti. Tak ayal lagi, beberapa penulis menganggap penting untuk menemukan judul terlebih dahulu sebelum ia melahirkan kisahnya secara utuh. Bahkan ada yang cukup ekstrem dengan mengoleksi judul sebanyak mungkin baru kemudian memilihnya untuk dijadikan cerita.

Saya sendiri bukan termasuk pengoleksi judul, tetapi sesekali merasa perlu mencatat kata atau kalimat yang saya pungut entah dimana yang sejak dini sudah saya rencanakan untuk judul cerita, dan dari judul itulah saya ingin bercerita.

Kamu menentukan judul dahulu baru menulis cerita, atau menyelesaikan tulisan baru kemudian mencari judul? Silakan memilih mana yang membuatmu nyaman.


Oleh : Donatus A. Nugroho
Komentar :
Om, aku pernah baca buku Om yang judulnya: Toejoeh Tjemara (kalau gak salah). Nah, itu kan ejaan lama, Om. Gapapa, ya?
Donatus A. Nugroho ‎:

Citra Widayanti: Villa Toedjoeh Tjemara (ejaan lama), judul ini jadi keren dan antik, tapi tercipta denan sengaja. Selain ingin mengesankan misteri, judul itu sebenarnya adalah nama sebuah bangunan, setting lokasi inti pada novel. Great, Citra mengangkat contoh yang keren.
Terbiasa menemukan judul terlebih dahulu setelah ketemu tema yang akan kutulis untuk memudahkan langkah berikutnya. Dan judul, kadang berganti di tengah-tengah menulis, atau di akhir menulis. Juga tak heran manakala judul, lagi-lagi berganti setelah diskusi dengan editor.
Aku pernah baca FF bagus banget, judulnya: Nafasmu. Nah, kan harusnya napas, kan, Om, bukan nafas? Itu juga gapapa?
Wina Amora K ‎:

Citra: Iya ya, aku sendiri juga lebih suka nulis 'nafas' daripada 'napas'....
lebih nyaman dengan membuat cerita lalu memberi judul. Ini pilihanku. Menulis judul dulu baru cerita ataupun cerita dulu baru judul, keduanya pilihan yang baik. Yang tidak baik adalah tidak menulis hehehehehe
Aku punya cerpen judulnya: Pertaruhan Idealisme. Ketika dimuat media, judulnya dipangkas jadi Pertaruhan saja. Kata temanku, judul itu lebih mengundang ketertarikan karena jalan cerita tidak mudah ditebak. Entah mengapa, sejak saat itu aku selalu memberi judul dengan satu kata saja untuk naskah yang aku kirim ke media tersebut.
Yang mau aku tanyakan, apa benar judul satu kata lebih mengundang kepenasaran pembaca Om Don?
Donatus A. Nugroho ‎:

Lara Ahmad, tidak selalu. Kalo contohmu yang Pertaruhan Idealisme, hehe emang enggak banget.
Sumber :

Rabu, 25 Januari 2012

Outline Sederhana, Hasilnya Luar Biasa - Sirkus Penulis #22

OUTLINE SEDERHANA, HASILNYA LUAR BIASA

Membuat outline atau kerangka karangan, masih sering diperdebatkan antara penting dan tidak penting di ranah para praktisi. Sebagian penulis merasa perlu bahkan harus membuat outline, sebagian yang lain menyatakan tidak perlu karena outline justru membuat penulis terkekang dan membuat proses menulis menjadi makin lama dan bertele-tele. Pengalaman saya, dahulu pada awal menulis saya selalu hanya ‘main hajar’, menulis tanpa konsep tanpa kerangka dan mengalirkan begitu saja apa yang ada di kepala saya ke kertas kerja. Belakangan saya baru mulai lebih tertib dengan membuat outline, terutama untuk novel dan novelet yang relatif panjang. Dan terbukti, saya sangat dibantu oleh outline, bahkan juga ketika menulis cerpen.

Outline atau kerangka karangan adalah tema, ide atau buah pikiran pokok yang disusun secara urut dan cermat menjadi rancangan awal atau master plan sebuah tulisan/artikel, termasuk di dalamnya adalah fiksi. Sesuai sifatnya sebagai rancang awal sebuah ‘bangunan’ tulisan, outline terdiri atas ide-ide utama yang akan dikembangkan pada saat menulis.

Outline, yang sering juga diistilahkan sebagai plot outline, akan membantu penulis untuk membangun cerita beserta segala kelengkapannya. Menentukan tokoh, karakter, setting, alur dan semua unsur di dalam cerita. Seperti memainkan puzzle, pada tahap inilah penulis memiliki waktu dan keleluasaan untuk membongkar-pasang, mengotak-atik, menyatukan atau justru sengaja mencerai-beraikan kepingan demi kepingan kisah yang pada ujungnya akan disatukan kembali pada ending yang sesuai dengan keinginan penulisnya.

Inilah keuntungan dari tersedianya outline:
  1. Dengan membuat membuat kerangka karangan yang kokoh, penulis terhindar dari keinginan sadar/tidak sadar mengembangkan cerita yang sebenarnya sudah ’jadi’.
  2. Outline akan membantu penulis dalam mengembangkan karakter tokoh cerita.
  3. Mempermudah penulis dalam menentukan dan merekayasa adegan demi adegan berdasarkan logika dan hukum sebab-akibat, sehingga nantinya tidak ada bagian yang berdiri sendiri.
  4. Outline akan membantu penulis menyelesaikan konflik di dalam cerita dan mengemasnya dengan taburan bumbu-bumbu kejutan sesuai citarasa penulis dan atau selera penikmat.
  5. Dengan berpegang pada outline, penulis dapat mengatasi writer’s block, yaitu kemandegan menulis yang disebabkan oleh banyak hal.
  6. Outline akan membantu penulis menghindari cerita yang inkonsisten.
  7. Jika dalam proses menulis muncul ide dadakan yang sangat kuat untuk kesempurnaan cerita, penulis masih punya kesempatan untuk mengubah outline. Menghapus atau menambahkan bab baru atau mengubah isinya adalah wajar.
  8. Dengan adanya outline akan memungkinkan penulis untuk melakukan rewriting, atau menulis ulang jika terjadi suatu insiden tertentu seperti misalnya naskah hilang atau terhapus.

Bagaimana membuat kerangka karangan yang sederhana dan efektif? 
Pada novel, buatlah outline bab per bab secara lengkap, dan masing-masing bab berisi sinopsis atau ringkas cerita yang kita tengah bangun. Semakin lengkap outline per bab, semakin gampang menguraikannya ke dalam tulisan yang utuh. 
Pada cerpen, buatlah outline yang lebih sederhana, misalnya dengan menulis ringkas cerita berdasarkan time-line atau lompatan waktu.

Siapa yang masih beranggapan bahwa menulis outline akan memperlambat proses menulis? Mari kita buktikan bahwa dengan diawali membuat outline yang baik, menulis akan berlangsung lebih cepat dan lancar. Dijamin!


Oleh : Donatus A. Nugroho
Komentar :
Tiap penulis beda-beda dalam membuat outline ya, Om? Ada yang per poin ada yang total narasi/sinopsis.

Donatus A. Nugroho ‎:
Outline dan sinopsis sangat berbeda, Ayunda Kirania. Sinopsis itu 1-10, sedangkan outline adalah 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10.
Masukan yang patut dicoba,kayaknya menarik,meringkas lalu mengembangkan.
Akan saya coba bandingkan mana yang lebih cocok sebagai pelicin jalur berseluncur.salam kenal om,saya orang baru disini,masih awam pula,masih pemula,butuh belajar banyak,senang bergabung disini,banyak ilmu yang diobral.hehe
ini terbukti... daripada buat sinopsis mending buat outline...
*melihat tumpukan outline yang belum disentuh >.<

Donatus A. Nugroho ‎:
Ini bukan ilmu atau teori baru. Di SMP kita sudah diajari membuat outline oleh guru Bahasa Indonesia kita pada saat pelajaran mengarang. Guru sudah mengajarkan kita tentang ringkasan dan kerangka karangan. Keduanya berbeda.
beda sama mind map?
mind maping krangka pikiran, outline karngka cerita/ naskah. Gitu ya?
Donatus A. Nugroho ‎:
Ini lebih sederhana dari 'peta pikiran', Jacob Julian. Kegunaannya sama.
kerangka pikiran itu ada setelah cerita jadi. Kerangka pikiran , semacam makna yang terkandung di dalam setiap alinea.
eh iya, peta pikiran. salah tik. Kalo mind maping suka aku buat kalo pas lagi ujian. Outline? Susah ga ya?
Pada novel, outline = sinopsis per bab
Pada cerpen, outline = ringkasan cerita per time-line
Begitu, Om?
Donatus A. Nugroho ‎:

Kalo aku gak salah, mind map lebih dibuat untuk kepentingan hal-hal yang sifatnya keilmuan atau persuasi.
kerangka pikiran lain dengan "peta pikiran". Suker Don, saya suka istilah "peta pikiran". Saya suka mencatat "peta p[ikiran" itu pada catatanb tersendiri. Nanti digabung-gabungin gitu.
Donatus A. Nugroho ‎:
Iya, Kak Astuti J Syahban, tuh aku sebut peta pikiran, bukan kerangka pikiran. Beda.

"peta pikiran" aku lebih cenderung itu juga dinamamakan ide yang muncul tiba-tiba. Contoh : seperti menemukan sebuah kalimat indah, dan tau, akan dikemanakan kalimat indah itu. Begfitukah, Suker?
Donatus A. Nugroho ‎:
Ujung dari mind map adalah analisa dan solusi. Dalam urusan fiksi bisa ditujukan untuk ending. Ah, entahlah ... ini teoritis jadinya.
boleh kasih contoh ga? ini contoh menurutku...
mind map :
cendol > suker > cendolers > rusuh > tanda cinta
bisa dikembangin lagi
suker> om DAN > om MayokO > jumat cendol
cendolers > cendolwan > cendolwati
dan seterusnya
outline :
- om DAN sedang mengajar jumat cendol tiba-tiba alien menyerang kelas tersebut
- kelas panik dan tiba-tiba om DAN berubah menjadi Super Cendol Cendolers
begini sih yang kutangkep... CMIIW
Halah, mind maping-ku lebih pada cara menghafal. Gimana tuh? Itu yang aku pelajari di buku.
Outline memudahkanku mengatur plot. Aku menuliskan rincian setting tempat dan waktu, adegan, pokok dialog yang akan dibahas, dan poin-poin yang yang mengejutkan. Pak DAN. Catatan di atas membuatku tambah yakin... ^^b
 
Donatus A. Nugroho ‎:
Anu ... Jacob Julian ... anuu.... gak usah mikirn mind map aja deh. Ribet. Contoh outline-mu udah betul, itu cukup.

huahahauahahaha... oke om Donatus A. Nugroho! rebes... cuma ada yang pernah ngomong, "Makanya bikin mind map biar gampang..."
outline harus ditulis apa cukup di kepala? aku bikin outline kalo untuk nulis cover story (laporan utama) di urusan berita karena yang ngerjalan liputan bukan 1 orang, untuk memudahkan pembagian tugas. biar gak tumpang tindih pas pengumpulan data dan narasumber. Kalo nulis novel cuma bikin catatam bab 1 tentang apa, 2 dst....Salah ya mas Donatus A. Nugroho?

Donatus A. Nugroho ‎:
Betul dong, kak Nita Tjindarbumi. Harus dicatat menurutku, secara di kepala penulis produktif kayak kakak, ide dan konsep akan tumpang tindih tak karuan.
Seringkali aku mengandalkan ingatan, begitu liat makanan, udah ilang dan buntutnya..."Haduh, mana ide tadi? Mana? Mana?"

Contoh outline (berpikir keras mengingat materi jumat cendol) :
Bunda --> single parent --> punya cathering --> punya dua anak
^
aku adik
!
talasemia
Gini bukan Om Donatus A. Nugroho???
Itu aku buat tadi siang, prepare event ama PF.

Donatus A. Nugroho ‎:
Tidak seperti itu, Sakura Hinata. harus rinci, minimal seperti punya JJ.

Outline hampir sama dengan TOR (sebagai pegangan seorang jurnalis, jika mengerjakan suatu liputan. TOR bisa berisi macam wawancara apa saja yang akan diajukan. Maaf, kalau agak OOT.

Donatus A. Nugroho ‎:
Hehehe Kak Astuti J Syahban ... Term of Reference kan untuk mereka yang presentasi, Kak.

Apakah, semakin produktif seorang penulis, semakin mudah untuk dia mematuhi outline ya, Suker Dan? Karena saya selalu gagal untuk nurut sama outline. :((

Donatus A. Nugroho ‎:

Ninuk Anggasari, ada di point berapa tuh, di atas, dalam proses kreatif, kita boleh kok membongkar pasang outline. Dan itu sudah biasa dan sering kita lakukan. Tapi ibaratnya kita kan memangkas pohon, bukan menebangnya. *tingkat tinggi*

oh seperti pohon logika....dari umum ke khusus..deduktif dan induktif...itukan mecari ide?...trus...otletnya kayaknya enak yang ke plot aja deh....ingin eskrim>mencuri>ternyata es grimnya gratis...

Jujur, untuk cerpen aku belum pernah menggunakan outline.
Tapi untuk novel, aku sudah menggunakannya.
Aku mulai dengan menjelaskan tokoh-tokoh dengan karakternya masing-masing.
Lalu aku buat cerita singkatnya dengan konflik utama.
Untukku yang agak pelupa outline memang sangat membantu karena saat tiba-tiba mandeg atau
terganggu oleh keadaan yang menyebabkan harus berhenti di tengah jalan,
aku akan dengan mudah mengingat lagi ide dan jalinan cerita yang akan kubuat.

Pengalaman saya pribadi nih, ketika awal menulis, langsung mengetik. Sering mengalami writer block. Sudah ini, gimana lagi ya? Intinya, cerita itu sebenarnya belum dipikirkan secara matang. Persoalannya, judul/openingnya, urutan ceritanya, dialognya, dsb. sampai endingnya. Outline membantu mengatasi itu. Outline bisa saja hanya dalam kepala, dirangkai-rangkai, dikhayal-khyalkan. Tapi seperti Don bilang, ingatan kita itu kan terbatas. Ya, menurut saya, bersiaplah mengetik kalau sudah menemukan outline cerita. Tapi jangan dibawa kaku, karena proses kreatif tiap orang berbeda....

Dulu aku sering mengalami macet nulis (writer's block)> baru tahu istilah ini sejak gabung di grup penulis. Tapi sejak buat outline, ini menjadi semacam kompas ( bagi pelaut) biar aku tak nulis cerita yang melenceng dari tema awal. Kalaupun berubah mengenai karakter pelaku utama, tinggal dikembangkan pada konflik. Tapi, makasih Donatus A. Nugroho, share-nya komplit banget^_^

Donatus A. Nugroho ‎:
Ada yang lupa saya sampaikan di atas, maaaaaaf..... ini penting!
Di beberapa penerbit, mereka menghendaki naskah (novel) yang disertai sinopsis dan outline. Gunanya apa? Untuk menentukan apakah naskah layak dibaca atau tidak. Bayangkan kalau outline-nya buruk dan amburadul.

Contoh outline cerpen : 
Judul : Balada. 
Tokoh : utama ( Cici dan Budi), pendukung (ibu dan bapak). 
Tema : percintaan kaum marjinal. 
Prolog : Suasana kota. Deskripsikan dengan detai. 
Isi/badan cerita : akan menulis sebuah kisah cinta dua insan, Cici dan Budi, dengan menulis latar belakang, setting tempat, keduanya dengan detail. 
Hal yang mesti ditulis : konflik-konflik di dalamnya. 
Ending : ending mesti dipikir, mau open ending atau tidak. 
Trus, mulai membuat 'peta pikiran'. Boleh menabung kalimat di sini.......(sambil buka notes, yg di dalamnya ada kal.bagus, atau malah pengayaan-pengayaan..).berupa ide-ide, selanjutnya, serahkan jari menari di atas kibor.Satukan pikiran dan hati. Mulai! Begitukah, Suker Don?

Donatus A. Nugroho ‎:
Boleh saja, Kak Astuti J Syahban, tapi itu rumit. Bagaimana kalo untuk cerpen seperti ini saja?
- Pagi, Budi berangkat sekolah bersama Amir naik sepeda.
- Di sekolah, datang terlambat dan kena strap.
- dst
- dst

Donatus A. Nugroho ‎:

Ernanto Pamungkas, di atas aku udah komen dengan memberi gambaran: Sinopsis itu 1-10, sedangkan outline itu 1,2,3,4, dst.

Aku mulai terbiasa membuat outline setahun terakhir ini. Untuk sebuah novelet sekira 50 halaman, outline-nya kubuat kurang lebih 5 lembar, jadi memang beda dgn sinopsis yg bisa dibuat satu halaman saja.
Tapi belakangan ini, kenapa ya, setiap selesai membuat outline, jadi malas menggarapnya? Apakah outline-nya terlalu gamblang? Bahkan baru nulis bab dua saja, aku udah ngeluh : 'duuh, masih jauh nih endingnya..!'
Itu gmana, Kakak?

Di majalah Kartini, untuk Cerber harus juga sertakan sinopsis..kalo cerpen aku gak pake outline. tapi kalo nulis untuk buku ya aku punya coret2an bab per bab dan penjelasan singkat, ...

Donatus A. Nugroho ‎:
Kak Nita Tjindarbumi untuk keperluan kita (penulis sendiri) memang boleh seperti itu. Bahkan kadang cukup dengan coretan-coretan di tembok. Tapi ketika penerbit menghendaki outline, tentu kita akan menyajikannya dengan sebaik dan selengkap mungkin a-z.

Donatus A. Nugroho ‎:
Kak Zahra, aku malah merasa beruntung kalau bisa membuat outline panjang lebar dan rinci. Itu bagus. Soal malas dan enggak itu soal niat, hehehe ... jangan salahkan outline-nya. Pembaca awal atau editor, atau siapa pun, pasti lebih suka pada outline yang gamblang. Toh, outline tidak pernah dicantumkan di buku/terbitan. Jadi bagi pembaca, misteri tulisan tetap terjaga.

Donatus A. Nugroho ‎:
Aku sarankan untuk tetap menyertakan outline ketika mengirim naskah novel ke penerbit, Kak Zahra A. Harris (akhirnya bisa mensyen). Diminta atau tidak diminta. Itu nilai plus.

Astuti J Syahban :

Okay, Suker Don. Nah, kalau sinopsis biasanya tak lebih dari 1000cws atau tak lebih dari 1 halaman. Mungkin contoh sinopsis seperti ini. "Cici bertemu Budi di sebuah pagelaran seni. Gadis yang telah berumur itu terkesima melihat penampilan yang dipertontonkan oleh Budi, sang penyair. . Cici si pelayan kafe yang menyambi sebagai penyanyi dangdut mengalami kekecewaan atas dua kali kegagalan pernikahannya, yang dibumbui oleh mistis. Lihatlah, betapa Emak bisa memaafkan Cici tatkala melihat perempuan itu bertato di pundaknya. Dengan bijak, ibu yang sangat menyayangi Budi itu menyarankan supaya calon menantunya menghilangkan tato itu. Hal yang membuat 'kesialan' bagi Cici bukan berarti telah hilang. Pernikahan keduanya terancam batal saat kejadian ketiga menimpa diri perempuan 'bahu laweyan' itu. Budi mengalami musibah kebakaran dua hari menjelang pernikahan. Akankah keduanya bisa menyatu dalam satu ikatan perkawinan?"

Donatus A. Nugroho ‎:
Salah, Kak Astuti J Syahban. Maaf, itu salah. Kalo itu untuk keperluan iklan, tampil di cover, it's oke. Tapi untuk keperluan penerbit/redaksi, sinopsis harus A-Z. Tuntas-tas-tas. Tidak boleh menyisakan teka-teki seperti itu.
Ayo, Cendolers, belajar dari contoh salahnya Bunda-mu.


Sumber :

Selasa, 24 Januari 2012

Fiktif dalam True Story - Sirkus Penulis #21

FIKTIF DALAM TRUE STORY

Salah satu tantangan penulis untuk melakukan sirkus adalah membuat fiksi berdasarkan kisah nyata, atau yang sering kita istilahkan dengan “based on true story”.

Meskipun kita sedang menulis cerita fiksi yang diangkat dari kisah nyata, unsur fiksi tetap harus dominan, jika tak ingin kisah itu datar, tidak menarik atau malah terlalu mengada-ada. Maka, jadikanlah kisah nyata hanya berfungsi sebagai ide cerita. Selanjutnya, ide inilah yang harus diolah lagi menjadi sebuah cerita fiksi yang baik dan menarik.

Yang terjadi kemudian adalah penerapan jurus dan aksi yang sama ketika kita menulis fiksi biasa. Dramatisasi, akrobatik plot dan lain-lain. Mainkan imajinasimu!

Penulis sering terjebak pada keinginan menulis seperti apa adanya, bahkan ada perasaan ‘berdosa’ ketika tidak seperti aslinya. Padahal, siapa sih, yang tahu bahwa itu kejadian nyata. Atau, siapa yang akan mengurus itu kisah nyata sungguhan atau setengah rekayasa.

Yang harus diperhatikan, perlukah kita mengubah (menyamarkan) nama, tempat atau waktu kejadian sehingga tertutup kemungkinan ada pihak-pihak yang merasa tersinggung atau terancam kredibilitas dan nama baiknya.

Sekali lagi kuncinya adalah: kisah atau kejadian nyata itu hanya kita pakai sebagai ide cerita.

Oleh : Donatus A. Nugroho
Komentar :
Bener juga om :D
Tanpa imajinasi dan dramatisasi, based on true story gak menarik :D kecuali kalo kejadian nyata itu bene-bener luar biasa :3

terima kasih, om....
saya udah mencoba demikian, dan kini makin semangat buat ngerampungin novelku yang udah sekitar 90%....
yang aku ingat, kalau nggak salah " jika engkau ingin menulis kisah nyata, bumbui dengan aroma fiksi, upayakan dramatisasi se dramatis mungkin, asalkan tidak melenceng dari substansi"
mungkin yang dimaksud substansi di sini adalah "ide"...
Betul, Ka Kimmy Chan dan kak Mukhanif Yasin Yusuf. Apa yang bagi kita lezat, kadang tak lezat bagi orang lain. Maka dibutuhkan bumbu penyedap.

kisah nyata yang diangkat selalu terasa nggak ada geregetnya tapi kalau dihiperbolakan jadi terkesan memaksa, bagaimana ini om Donatus A. Nugroho :(

Lebih tepat dramatisasi, bukan hiperbola.

'Merasa berdosa...' <== AKU BANGET!!
Ternyataaa... Kupikir kalo nulis yang berlabel true story itu kita nggak boleh ada fiksi di dalamnya. Terima kasih, Suker Don. :3
Tapi, tapi.. kalo misalkan kita mengirim cerita untuk rubrik true story di suatu media, sewaktu dihubungi tentang pemuatan naskah kita, apa kita nggak dimintai pernyataan bahwa itu benar-benar true story? Kan kadang ada juga ajang lomba yang menyuruh kita menyertakan pernyataan seperti itu.

Tidak ada yang benar-benar murni ksah nyata, Evi Sofia Inayati. Bahkan kisah nyata ala "Oh Mama Oh Papa" pun disunting dan divermak oleh redaksi untuk memperoleh gregetnya.

Sip, Suker! ^^b Aku paham sekarang. Ternyata ini sebabnya aku nggak lolos ajang lomba Flash True Story kemarin. #PLAK :D Sama sekali gak ada fiksi yang kumainkan di sana. Fiuhhh! Ilmu yang kerennn sebelum tidur. :D Terima kasih, Suker. *lanjut narik selimut*

Kadang ada lomba yang menuntut cerita yang ditulis adalah nyata, baik pengalaman sendiri atau orang lain. Kalau kayak gitu, apakah kita tetap berhak memainkan fiksinya?

True story MDR banyak ya, Kak Anèy Maysarah. Gimana kita ngobrol kemarin? Kuncinya harus ada di tangan pencerita yang baik.

Apakah diriku masuk dalam kategori pencerita yang baik Paklik Donatus A. Nugroho?
Ah, ya! Aku baru ingat kosakata baru.Suatu ketika perjalanan di MDR menggunakan kapal (belum ada jembatan kayak sekarang). Seorang pedagang menawarkan dagangannya padaku.Tercetak tebal bertuliskan:Pijat Refleksi
Tapi pedagang itu bilang dengan logatnya yang kental:
PIJET TREPLEKSI!
Hahaha, bojoku pas lagi makan telur puyuh langsung tersedak mendengarnya.Dan dengan santainya si pedagang bilang:
"Kalo battuk kayak gettu, bisa sembuh pakke pijet treplesi mas. Murrah, lema rebbu sajja"
Aku tutup mulut sambil tahan tawa.Kalo ketauan ngetawain si pedagang,bisa di cok-bacok saya tak iyye >_<

Seperti sebuah novel diary yang diangkat dari kisah nyata. Hmm... Waktu Aku Sama Mika, contohnya. Bingung. Itu trus story semua apa ada fiksinya, ya? Tragis sekali -_- *ngomel sendiri*
Suker DAN, seperti yang ada di atas, true story bisa dijadikan ide pokok saja. Jadi kalau dasarnya fiksi, idenya true story (kira-kira fiksi 60% sedangkan true story 40%) apa berani bilang ke redaksi entah media atau penerbit bahwa itu kisah nyata?
Maaf, jika aku kurang baca-baca-baca. Di bagian ini saja yang aku masih ragu. Terima kasih ^^


Cerpen pertama saya, yang akan dimuat di Story #30 nanti :D (promosi yaa, hehehe)
memang 'based on true story' :D
karena dibuat berdasarkan permintaan teman untuk mewujudkan 'pengalaman pahit'-nya :)
tapi justru sempat bingung,
karena malah ADA 1 KEJADIAN REALITA YANG (menurut saya) JUSTRU TIDAK MASUK LOGIKA FIKSI
(nah lho?!! ;p)
tapi yaa... Hajar wae!
Bablas wae! Byur makubyur! :D
karena sangat penting,
akhirnya realita itu saya belokan menjadi sebuah kejadian fiksi,
dan lolos juga... :D
Amin! :)

Mau sharing pengalaman nih: novel Cinta di Atas Awan-ku awalnya aku buat 100% true story. Gak ada penerbit yang mau terima. Alasannya karena ceritanya terlalu datar. Tidak ada yang istimewa. Sampai akhirnya ketika aku hampir menyerah dan mau membuang naskah itu, ternyata diterima oleh salah satu penerbit. Mereka bersedia menerbitkannya dengan syarat jalan ceritanya harus diubah. Alhasil lebih dari 70% naskah itu aku revisi. Nggak disangka juga ternyata novel ini jadi best seller. Dari sini aku belajar, true story hanyalah ide dasar dari cerita naskah kita, selanjutnya... terserah :D

Kenapa menulis cerita kisah nyata lebih menyulitkan ya Om Donatus A. Nugroho

Sebenarnya justru mudah, Ayu Ira Kurnia. Dasar cerita (basic story) sudah ada, tinggal mengembangkannya. Apalagi kalo kisah nyatanya berdasarkan pengalaman sendiri, pasti makin lancar.

Om maaf kalau pertanyaan Ayu mengganggu, saat ini Ayu lagi nulis cerita berdasarkan kisah nyata diri Ayu sendiri tapi Ayu malah mentok saat sudah nulis dipertengahan. Menurut Om Donatus apa yang harus dikembangkan agar ide cerita itu tetap mengalir

Ayu Ira Kurnia, kurang penghayatan kali... Coba remind deh! Terus rasakan apa yang kamu rasakan dulu. Ntar juga nulisnya kebawa sendiri. Tau-tau kelebihan kata aja ;p

walau pun itu cerpen, buatlah outline, Ayu Ira Kurnia. Buatlah kerangka karangan.

Hmmm makasih kak Sakura Hinata mungkin akan lebih dihayati lagi. Om Donatus A. Nugroho makasih sarannya Ayu coba untuk membuat kerangka karangannya :)

Setuju. Kalo menulis based on true story tuh justru lebih ngalir. Aku leboh suka pakai POV 1, dan lebih sering terinspirasi dari kisah nyata. Entah itu kisah sendiri, atau cerita temen. Tapi suka malu kalo dibaca temen, pasti diledekin. :D hihihi.

Om, aku ga pernah buat outline. Idenya cuna nempel dikepala. Konflik berjalan sendirinya. Apa karena semua ga pernah terkonsep jadinya hasilnya seadanya ya?

Pada kesempatan berikutnya kita akan bahas tentang pentingnya membuat outline.

Ada yang tau gak, naskah digital itu apa?

Aulia Anggraini, mungkin yang dimaksud adalah karya tulis yang ditayangkan lewat media digital,misalnya di blog, situs, jejaring sosial dan semacamnya. Bentuk mentahnya tentu soft copy

Menulis base on true story justru asyik dan jauh lebih mudah buatku. Karena jiwa kita bisa masuk ke dalamnya. Tapi tentu saja memang harus difiksikan, tidak semuanya berdasarkan fakta nyata. Data penunjang sudah jelas adanya fakta, tinggal diramu menjadi sebuah cerita indah.


Sumber :