Kamis, 26 Januari 2012

Menyundul Judul - Sirkus Penulis #23

MENYUNDUL JUDUL

Ingat tidak, betapa seringnya kita mendengar penulis mengalami kesulitan dalam membuat judul karangannya? Seringkali pula di saat tulisan sudah selesai, judul masih di awang-awang. Kamu juga mengalaminya?

Walaupun pada kenyataannya banyak cerpen, novelet atau novel menjadi fenomenal padahal judulnya sangat biasa, bahkan terkadang hanya satu kata atau berupa nama orang, namun tak bisa dipungkiri fakta bahwa seringkali orang lebih terpikat membaca sebuah cerita berdasarkan judulnya. Kadang karena bombastis, karena menimbulkan rasa kepenasaran, atau karena judul itu merupakan satu rangkaian kata yang manis dan indah. Judul yang menghipnotis calon pembaca!

Bagaimana menciptakan judul yang mampu mensugesti agar pembaca berkeinginan atau tertarik untuk membaca?

Ketika hendak membuat judul sebuah karangan atau tulisan, sebaiknya kita memperhatikan dan meneliti lagi isi karangan. Menemukan intisari yang hendak disampaikan dan mewakilkannya ke dalam satu atau serangkaian kata. Singkat, dan menarik. Tidak terlalu umum dan merangsang imajinasi. Meski hendak menggambarkan isi karangan, namun bukan berarti cerita kita lantas menjadi mudah ditebak isinya hanya dengan membaca judulnya. Misalnya: “Akhir Sedih Perjalanan Cinta”, selain judul ini terasa basi, juga terlalu gamblang memperlihatkan isinya. Orang akan lekas menduga ini kisah picisan, kisah cinta yang diakhiri dengan tragedi. Dan memang demikianlah adanya.

Trik untuk membuat judul yang menarik diantaranya adalah menghindari judul yang sudah sangat lazim, seperti misalnya “Derita Cinta”, “Malam Sunyi”, “Patah Hati”. Coba dengan sedikit modifikasi, maka judul akan menjadi “Derita Cinta Dusta”, “Malam Tak Bertepi” dan “Patah Hati Jadi Tiga”. Sekedar contoh judul yang lebih menarik.

Judul yang up to date, kekinian dan tidak kuno terlihat pada misalnya “Perempuan Itu ... Sesuatu” yang sengaja mengambil jargon dan bahasa gaul yang sedang menjadi trend saat ini. Pada judul “Cermin Hati” kita merasakan judul yang universal, sengaja multitafsir sekaligus bisa diuraikan secara filosofis. Pengalaman lain saya sebagai editor adalah mengganti judul “My Last Wish” menjadi “Kiss Me and Let Me Die”. Dari judul yang sudah sangat lazim dipakai menjadi judul yang misterius dan sedikit bombastis. Lebih menghipnotis, kan?

Mengingat menulis adalah sebuah kegiatan seni merajut kata menjadi kalimat-kalimat bermakna, judul lebih spesifik lagi karena ia adalah kepala yang langsung menyundul segala indera calon pembaca (dan sebenarnya juga penulisnya sendiri).

Uraian di atas adalah manfaat dan pengaruh judul bagi pembaca atau calon pembaca. Lalu apa manfaat judul bagi pengarangnya sendiri? Judul adalah kepala. Dari sanalah mengalir cerita, dari sanalah cerita dikembangkan. Ia adalah sebuah ruang yang dibatasi oleh dinding-dinding, yang membuat cerita bergulir tapi tak keluar dari ruang tersebut. Ia memberikan batas, kemana kisah boleh bergerak dan dimana ia harus behenti. Tak ayal lagi, beberapa penulis menganggap penting untuk menemukan judul terlebih dahulu sebelum ia melahirkan kisahnya secara utuh. Bahkan ada yang cukup ekstrem dengan mengoleksi judul sebanyak mungkin baru kemudian memilihnya untuk dijadikan cerita.

Saya sendiri bukan termasuk pengoleksi judul, tetapi sesekali merasa perlu mencatat kata atau kalimat yang saya pungut entah dimana yang sejak dini sudah saya rencanakan untuk judul cerita, dan dari judul itulah saya ingin bercerita.

Kamu menentukan judul dahulu baru menulis cerita, atau menyelesaikan tulisan baru kemudian mencari judul? Silakan memilih mana yang membuatmu nyaman.


Oleh : Donatus A. Nugroho
Komentar :
Om, aku pernah baca buku Om yang judulnya: Toejoeh Tjemara (kalau gak salah). Nah, itu kan ejaan lama, Om. Gapapa, ya?
Donatus A. Nugroho ‎:

Citra Widayanti: Villa Toedjoeh Tjemara (ejaan lama), judul ini jadi keren dan antik, tapi tercipta denan sengaja. Selain ingin mengesankan misteri, judul itu sebenarnya adalah nama sebuah bangunan, setting lokasi inti pada novel. Great, Citra mengangkat contoh yang keren.
Terbiasa menemukan judul terlebih dahulu setelah ketemu tema yang akan kutulis untuk memudahkan langkah berikutnya. Dan judul, kadang berganti di tengah-tengah menulis, atau di akhir menulis. Juga tak heran manakala judul, lagi-lagi berganti setelah diskusi dengan editor.
Aku pernah baca FF bagus banget, judulnya: Nafasmu. Nah, kan harusnya napas, kan, Om, bukan nafas? Itu juga gapapa?
Wina Amora K ‎:

Citra: Iya ya, aku sendiri juga lebih suka nulis 'nafas' daripada 'napas'....
lebih nyaman dengan membuat cerita lalu memberi judul. Ini pilihanku. Menulis judul dulu baru cerita ataupun cerita dulu baru judul, keduanya pilihan yang baik. Yang tidak baik adalah tidak menulis hehehehehe
Aku punya cerpen judulnya: Pertaruhan Idealisme. Ketika dimuat media, judulnya dipangkas jadi Pertaruhan saja. Kata temanku, judul itu lebih mengundang ketertarikan karena jalan cerita tidak mudah ditebak. Entah mengapa, sejak saat itu aku selalu memberi judul dengan satu kata saja untuk naskah yang aku kirim ke media tersebut.
Yang mau aku tanyakan, apa benar judul satu kata lebih mengundang kepenasaran pembaca Om Don?
Donatus A. Nugroho ‎:

Lara Ahmad, tidak selalu. Kalo contohmu yang Pertaruhan Idealisme, hehe emang enggak banget.
Sumber :

0 komen: