Jumat, 04 Mei 2012

Dua Kali "Dipaksa" Sedekah

Jum’at kemarin, saya memutuskan untuk segera mencari masjid terdekat di daerah Depok karena waktu sudah mendekati saat sholat Jum’at. Masjid di dalam sebuah komplek perumahan yang menjadi tujuan. Alhamdulillah masih dapat di barisan kedua dan saya langsung shalat sunnah. Usai shalat, saya menyalami orang-orang di sebelah kanan dan kiri, depan dan juga belakang. Namun ada yang sedikit aneh dengan laki-laki yang duduk di sebelah kanan saya. Rupanya, usai saya menyalaminya tadi wajahnya tak berpaling dari saya dan terus menatap saya dengan sebaris senyumnya yang tak berubah. Saya menengok sesaat ke arahnya, ia tetap dengan senyumnya. Namun saya merasa risih karena terus menerus “disenyumi” laki-laki yang tak saya kenal ini.

Akhirnya saya menengok lagi ke arahnya, kali ini lebih lama. Ia masih dengan senyumnya yang garisnya tak sedikitpun berkurang dari beberapa menit yang lalu ia memulainya. Sementara saya malah dibuat bingung dan
tak tahu harus berbuat apa. Oh, beberapa detik kemudian baru saya sadar. Kenapa tak saya balas saja senyumnya? Senyum pun tercipta dari saya. Ia masih terus menatap saya dengan senyum indahnya, dan belum  selesai. Saya ulangi lagi senyum saya, lebih tulus, lebih indah dari sebelumnya. Ia pun tersenyum lebih lebar dan menyudahi aksi senyumnya kepada saya.

Ia, ternyata lelaki istimewa. Penyandang autis adalah manusia istimewa karena memiliki banyak kelebihan pada dirinya. Baru saja saya diajari olehnya tentang senyum dan bagaimana memberikan senyum yang tulus dan indah kepada siapapun. Setelah saya perhatikan, ia melakukan itu juga kepada jamaah yang lain. Senyum dan berwajah berseri adalah sedekah bagi saudara kita, dan lelaki istimewa ini seolah baru saja memaksa saya untuk bisa tulus tersenyum, agar menjadi nilai sedekah kepada siapapun.

Selesai urusan senyum, saya beralih kepada Khatib yang baru saja naik mimbar. Sambil khatib menyampaikan nasihat-nasihatnya, kotak infak pun melintas di depan saya. Saya sengaja membiarkan kotak infak itu melintas tanpa henti dari depan saya karena kotak infak di depan masjid sesaat sebelum saya masuk tadi sudah lebih dulu saya sentuh. Ketika kotak infak beralih ke depan lelaki istimewa itu, ia menyodorkan balik kotak itu ke arah saya. Dengan sangat sopan saya menggeser kembali kotak itu ke arahnya sambil memberi isarat bahwa saya sudah berinfak di depan masjid. Tapi lagi-lagi ia menggeser kotak itu ke arah saya, sambil tangannya memberi isarat agar saya memasukkan sejumlah uang ke dalamnya. Saya pun mengalah, saya memasukkan selembar uang ke dalamnya kemudian menggeser ke arahnya.

Kali kemudian saya kembali dibuatnya tersenyum lantaran ia kembali menggeser kotak itu ke saya, seolah mengatakan, “tambah lagi”.  Saya pun menambahnya lagi, dan gentian ia yang tersenyum. Kini gilirannya, kotak berada di depannya. Saya jadi penasaran gerangan apa yang akan dilakukannya. Ia mengeluarkan selembar uang kertas, meskipun agak sedikit disembunyikan namun saya tahu berapa nilainya. Ah, saya jadi malu. Yang ia sedekahkan hari itu lebih besar nilainya dari yang saya sedekahkan. Pantas saja ia seolah “memaksa” saya untuk menambah lagi, dan lagi sedekah di hari itu. Bagi saya, hari itu ia seperti malaikat yang tengah mengajari saya untuk bersedekah lebih banyak. Ia benar-benar lelaki istimewa, yang Allah sengaja pertemukan saya dengannya di baris kedua masjid itu.

Bersamaan dengan itu, suara Khatib terdengar memberi kesimpulan dari ceramahnya siang itu, “Sedekah yang kita berikan, tak hanya menyelamatkan saudara kita dari rasa lapar, tetapi juga menyelamatkan saudara-saudara kita dari sifat kufur kepada Allah”.

Hari Jum’at itu, menjadi salah satu hari Jum’at yang istimewa buat saya. Allah, melalui lelaki istimewa itu, mengajarkan saya untuk sedekah lebih baik lagi dari yang sudah biasa saya lakukan. Pertama, sedekah
senyum, kedua sedekah dengan harta. Wallaahu’a’lam


Sumber :: daarut-tauhiid@yahoogroups.comOn Behalf Of Bayu Gawtama

0 komen: