Jumat, 06 Juli 2012

Lokalitas dalam Cerpen - Jumat Cendol

Tema Lokalitas dalam Cerpen


Bib bib...

Hape saya bergetar dan nada khas dari Nokia melantun dua kali. Seisi kelas menatap ke arah saya. Saya seperti alien yang nyasar ke bumi dan dikerubungi semut-semut nakal *apasih?* Intinya ada SMS masuk di hape saya saat dosen lagi asik membawakan dongeng Random Variable and Probability Distribution. Berlagak seperti orang autis saya pura-pura jongkok mengambil uang receh yang jatuh *semoga organ-organ hape saya masih utuh*. Fuih! Amaaan! Nokia E Series kesayangan saya akhirnya berhasil juga mingkem dengan cara yang amat tak berperikehapean. Silent profile.

Masih di fase autis, saya mengintip ke layar gadget yang kini berada di pangkuan saya.

Mbak Adel (1/1) 8:53: AM
“Awaaaan, Mbak Dela lagi sibuk. Sampe lupa ngehubungin kamu. Lagi jumpalitan. Bisa jadi suker Jumat Cendol sore nanti yaa? Aku lupaaaaa, soalnya lagi jungkir balik jumpalitan sama detlen-detlen. Hiks! Tentang kearifan lokal ya, Awaaaan. Bisaaaa yaaaa.”


Gubraks! Konsentrasi saya buyar *sebenarnya dari awal saya sudah gak konsen juga sih, hihihiii* Jadi suker? Alamaaak!

SMS itu tidak langsung saya balas. Saya mikir dulu. Panjang. Jadi suker di Jumat Cendol? Gue? Gak yakin deh! Selang beberapa menit kemudian, diam-diam, pelan-pelan saya menyentuh tombol querty putih bernas itu.
“Apaaaaaa? Sukeeeeer di Jumat Cendoool? *shocked* ..... Aku usahain ya Mbaak.”


Beberapa detik selanjutnya layar hape saya kembali berkedip, kali ini tidak berisik.
“Ya bisaa yaaaa! Asyiiiik! Maafin Mbak Dela ya telat ngomongnya. Aku minta port folio kamu yaa buat woro2 yaa.”


Mati gue!

Well, selamat siang (daerah lain menyesuaikan) Cendolers yang keren! Cerita di atas hanya sebagai pembuka saja. Yaa, paling gak sebagai jawaban dari pertanyaan besar mengapa saya berani ‘nongol’ di doc. sakral ini? *Haduh, saya gak tau harus ngomong apa lagi*. Oke, as you know lah yaa, saya bukan sesiapa sebenarnya. Masih unyu, suer takower-kower. Makanya saya takut “merasa tidak pantas” ketika dipercaya oleh Mbak Dela dan jajaran suhu-suhu keren sekolah ABC untuk menjadi (calon) suker di Jumat Cendol edisi hari ini dengan tema “Tema Lokalitas dalam Cerpen”. *tarik napas*

Sebelumnya saya mau curcol dulu yak! Boleh yah? Boleh doong! Jadi begini; Nama saya Setiawan D Chogah, baru menulis (sedikit serius; demi honor) tahun kemaren. Actually, in fact, dan sejujurnya saya tidak pernah mengspesialisasikan jenis tulisan saya sebagai tulisan sarat muatan lokalitas. Saya menulis tanpa pretensi apa-apa kok, begitu saya pengin nulis, ya nulis aja. Kalaupun nanti di tulisan yang saya tulis terdapat muatan lokalitas, itu kebetulan saja kali ya *bingung deh*.

Eniwei, apa sih yang ada di pikiran kamu ketika mendengar kata lokalitas? Kedaerahan? Tradisional? Hmm, kalau merujuk pada definisi ala Mbak Gugel nih ya, ada beberapa persepsi tentang lokalitas;

Selama ini lokalitas melekat pada simbol-simbol kedaerahan *tuh kaan?*. Ketika ada cerita-cerita yang mampu menggunakan dan atau menggali nama tempat, dialek, tradisi, mitos, hikayat, sejarah, dan kearifan lokal, maka ia akan terkodifikasi ke dalam ranah lokalitas. Lokalitas kerap disamakan dengan tradisionalitas. Ketika karya sastra mengangkat budaya lokal, perihal kearifan lokal, hikayat, mitos, dan sejenisnya, maka dengan ‘semena-mena’ karya tersebut dilabeli lokalitas.

Hadeuh! Gak ada pendekatan yang lebih ‘cucok’ lagi, Ciiin? Tenang, Joo! Gampangnya aja yaa, lokalitas itu adalah wilayah geografi yang lebih sempit *itu pengertian lokal, dudul!* Hiihiiiiii. Biar lebih gampang lagi kita sharing aja yuuk! Saya yakin dan percaya di sini buanyaaaaak yang lebih gape dan andal kalo bicara soal lokalitas dari saya. Yuuuk mareee!

(*Penting: Jawaban teman-teman akan saya jawab sebisa dan sesuai ketahuan saya ya. Saya masih ‘bodoh’ dalam berteori. Beneran deh. Perbedaan antara surealis dan antagonis aja saya gak tahu. :))


CC: 
Kepsek Mayoko Aiko
Para Suker dan Cendoler yang keren.
Sampai jumpa di Kemah Sastra II besok ya.. ^_^



Oleh : Setiawan D Chogah


Komentar :

Arniyati Shaleh :
Ngabsen, tanya, bisa ngasih contoh judul cerpen Suker Awan yang mengandung lokalitas? Trims.

Setiawan D Chogah :
Hmmm, ada pertanyaan ^^
Bunda Arniyati Shaleh di Makassar: Sala satu cerpen saya yang unsur lokalitasnya kental Penantian Amak yang dimuat Tribun Jabar, Bund. Nanti silakan baca yaa. Jangan-jangan gak ada unsur lokalitas sama sekali. Hehehee. O ya, cerpen Kiara di Story edisi 18 juga lokalitas.

Arniyati Shaleh :
Makasih Suker, tanya lagi ya, apa yang mendorong Suker menonjolkan lokalitas dalam karya tersebut? Apa karena ada idealisme tertentu atau memang murni karena dorongan ide?

Setiawan D Chogah :
Bunda Arniyati Shaleh:
Kebanyakan cerpen saya berdasarkan pengalaman saya, boleh dikatakan saya meuliskan apa yang pernah saya alami dan saya rasakan. Seperti cerpen saya di Annida yang berjudul Bukan Sultanurbaya tentang tradisi lama di kampung saya kalau ada ketakuan di hati Mandeh (Ibu) terhadap anak laki-lakinya terpikat gadis rantau. Jadi motivasi saya menulis lokalitas sebenarnya tidak juga terkait idealisme. tapi saya taunya itu, makanya saya menulis itu.

Arniyati Shaleh :
Waw keren! Tanya lagi yaa, apa yang menarik dari kearifan lokal?

Setiawan D Chogah :
Bunda Arniyati Shaleh:
Pertanyaan yang bagus. Hihihihihi. Apa menariknya kearifan lokal? Sangat menarik. Dengan membaca cerpen lokalitas kita mendapat informasi tentang kearifan sebuah kebudayaan, tempat, dll dari sebuah daerah dengan cara yang beda. #Cerpen.

Arniyati Shaleh :
Kembali lagi sambil ngulek sambal ijo, maaf pertanyaan pribadi sangat, hmm gadis lokal daerah mana yang Suker tembak jadi pendamping kelak?
*dipelototin Sang Pengamat.

Setiawan D Chogah :
Bunda Arniyati Shaleh:
Hahahahaaaa. Saya tidak mematok sampai sejauh itu, Bund. Mau Batak, Minang, Sunda, Jawa, Bugis, ataupun bule. Kalau dia jodoh saya dan saya jodoh dia, saya siap menjadi Imam buat dia. Kalau boleh meminta, seiman, patuh dan bisa mengerti saya saya dan profesi saya kelak. Sudah cukup.

Arniyati Shaleh :

Sip Suker, hi hi hi
Tanya lagi, bunda pernah menulis Dayang Sumbing vs Roro Gendut tapi bunda ragu publish karena takut menyinggung rasa kelokalan, apa plesetan seperti itu boleh dipublish?

Setiawan D Chogah :
Bunda Arniyati Shaleh:
Sebenarnya tidak ada larangan. Dayang Sumbi itu kan hasil cipta rasa dan karsa manusia (baca budaya). Cuma yaa kalau masih bisa menulis cerita yang lebih fresh, mengapa harus mengutak atik cerita yang sudah ada? Tapi kalau utak-atik Bunda sesuatu dan WOW, silakan saja. Siapa tahu Dayang Sumbi itu ternyata dulunya punya suami di Makassar. Hayooo. Hihiihiii.

Zen Horakti :
Gimana sih agar kita bisa membuat sebuah karya yang kentara lokalitasnya dan bisa membuat orang sadar dan menambah pengetahuannya tentang budaya lokal itu?

Setiawan D Chogah :

Zen Horakti:
Kalau pengalaman saya, saya menuliskan sesuatu yang jarang dituliskan oleh penulis lain (bisa juga dengan cara menyampaikan ulang). Sertakan informasi tentang kedaerahan kita yang mungkin pembaca di daerah lain tidak tahu (atau tidak terlalu tahu) tentang itu. Seperti sistem matrilineal di Minangkabau. Sebuah sistem kekerabatan yang hanya beberapa negara/ suku yang menganutnya di dunia. Intinya sampaikan yang kita tahu, jangan mengada-ngada. Itu saja.

Nidya Meidhyana Prasantya Utami :

Iya aku pernah baca cerpen "Kiara" di story.
Itu bisa muncul ide seperti itu bagaimana, Mas Setiawan D Chogah? Mengingat dirimu kan udah ga tinggal di sana

Setiawan D Chogah ‎:

Nidya Meidhyana Prasantya Utami:
Saya menuliskan apa yang saya rasa dan saya alami. Cerpen Kiara itu 40% true story. :) Cuma saya kemas ulang secara fiksi *nah lho*

Nidya Meidhyana Prasantya Utami :
ada kesulitan dalam pengemasannya, Mas Setiawan D Chogah?
Terus apakah kesulitan lain yang biasanya dihadapi dalam menulis tentang kearifan lokal ini?

Setiawan D Chogah ‎:
Nidya Meidhyana Prasantya Utami:
Jujur, saya justru nyaman dengan menulis lokalitas. Kalau tema lain saya sedikit keteteran.

Iman Safri Lukman ‎:
TANYA:
Sore SuKer, apakah kearifan lokal dalam cerpen selalu erat kaitannya dengan budaya setempat? Atau adakah 'unsur' lain yang bisa diangkat?

Setiawan D Chogah :

Sore Mas Iman. :) Kalau merujuk pada pendapat ahli, mungkin Mas bisa baca. Saya tidak berani mengatakan iya dan tidak. Tapi saya akan coba jawab sesuai kapasitas saya ya. Unsur lokalitas tidak melulu sebatas budaya. Seperti Laskar pelanginya Andrea Hirata. Fokus ceritanya paa bidang pendidikan, tapi sarat dengan muatan lokalitas Belitong.

Iman Safri Lukman :

TANYA (lagi) :)
Maaf kalau pertanyaan kali ini sedikit melenceng. Dulu (dulu banget) ada seseorang yang coba-coba ngirim cerpen ke media nasional. Cerpennya tentang kearifan lokal (Membahas tentang Belungkang--'sejenis perahu di sumsel' ) Dia yakin media tersebut juga 'senang' menampilkan cerpen-cerpen bertema budaya atau sejenis lokalitas. "Maaf, cerpen anda terlalu mengangkat kearifan lokal" itu balesan emailnya. (Atau mungkin beliau memang salah nilai tentang media tersebut)
Nah, adakah trik tertentu agar lokalitas tidak terlalu over? Atau trik untuk menyiasati penjelasan lokalitas dengan jumlah huruf yang dibatasi dalam cerpen (maksudnya gini, menjelaskan beberapa 'hal yang tidak awam' kepada pembaca)

Setiawan D Chogah :
Maaaf, I-net saya ngadat. :p
Mas Iman: Langsung jawab aja yaa. Mungkin ini sudah masuk ke ranah 'tips dan trik' menembus media ya? Hehehehee. Oke nanti kita bahas di luar arena ini ya Mas. Saya mau jawab pertanyaan lain dulu yang berhubungan. :)

Hylla Shane Gerhana :
Tanya: Suker Setiawan D Chogah, saat kita lama di suatu tempat misal di Luar Negeri atau di Metro atau Mega politan. Kita terbentur sebuah fakta kesulitan menulis lokalitas, karena tidak seperti kalau tinggal di Indonesia. Kita bisa survey dari dekat, mendengar cerita dari mereka untuk mengenal lebih dekat lagi budaya, adat istiadat dan lain-lain yang bisa menguatkan dan memperkaya wawasan dalam cerpen kita. Bagaimana cara yang baik, menulis lokalitas dan memupuskan keterbatasan seperti kondisi di atas?

Nuri Dhea Subiyanto :
TANYA: Suker Uda Chogah. Pernah menulis lokalitas budaya yang sama sekali belum diketahui? *maksudnya selain minangkabau* bagaimana cara risetnya? Surfing internet, lewat buku, atau harus pergi ke daerah tersebut?

Setiawan D Chogah :

Mbak Hylla Shane Gerhana dan mbak Nuri Dhea Subiyanto :
Memang adakalannya kita butuh survey tempat untuk menguatkan setting tempat dan suasana dari daerah yang ingin kita angkat. Tapi di zaman yang super duper canggih ini, ada alternatif dan kemudahan yang diberikan internet pada kita. Saya pikir tidak ada salahnya kita memanfaatkan fasilitas ini. Saya juga pernah melakukan hal ini ketika Om Donatus A. Nugroho menantang Cendolers menulis cerpen lokalitas tentang Labuhan Bajo satu tahun yang lalu. Ketika saya mencoba memenuhi tantangan beliau, saya full memanfaatkan informasi dari google tentang labuhan bajo. *Silakan baca cerpen saya yang berjudul Malam Sepi di pantai Flores. :)

Hylla Shane Gerhana :
Tanya lagi Suker: Saat menulis cerita lokalitas bisakah kita memadukan nama tokohnya tidak hanya berasal dari daerah tersebut saja. Atau nama-nama tokoh lokal memang menambah point tersendiri sehingga kekentalan lokalitas terasa banget? Menurut Suker, Setiawan D Chogah yang terbaik nama-nama tokoh dalam cerita lokalitas itu bagaimana?

Setiawan D Chogah :
Mbak Hylla Shane Gerhana:
Jawabannya relatif, Mbak. Saya punya ide cerita. Ada sekelompok mahasiwa dari kota yang akan menjalankan kegiatan KKM ke sebuah desa terpencil yang masih kental dengan adat istiadatnya (ambil contoh pedalaman Kalimantan). Tentu saya nama tokoh-tokoh mahasiswa ini tetap harus 'up to date' dan gak kampungan. Tapi gak lucu juga kalau salah satu tokoh masyarakat di desa itu kita namakan James, Jhon, atau Isabela. :)

Hylla Shane Gerhana :
Tanya: Suker Setiawan D Chogah, aliran cabang dari lokalitas itu apa saja?

Setiawan D Chogah :
Mbak Hylla Shane Gerhana:
Cabang? Wahh, kalau teori saya kurang tahu Mbak. Lokalitas itu punya cabang atau tidak, saya gak tau juga. *Jujur* :))

Hylla Shane Gerhana :
Kalau begitu dinikahkan saja, ya Suker alirannya. Biar lahir akulturasi genre seperti yang Suker jelaskan tadi ada Horor Lokalitas misalnya.

Hardia Rayya ‎:

Setiawan D Chogah:
Maaf bantu jawab pertanyaannya Ibu Hylla, di Workshop Ceban itu, Anda kan pernah bilang, kalau tema lokalitas itu bisa masuk ke genre apapun. Coba aja liat di media-media. *Masih inget

Iman Safri Lukman :
Kalau boleh saya sok tahu, lokalitas bukan aliran. Tidak bisa disejajarkan dengan realisme, surealisme, naturalisme dll. *eh benar ga ya? :)
Lokalitas hanya berfokus pada ide pokok yang ingin diangkat. Dan saya sependapat kalau lokalitas bisa 'dikawinkan' dengan genre horor dan disajikan dengan aliran apapun (hanya mungkin kebanyakan tema lokalitas sering menggunakan sastra serius)
mohon koreksinya kalau saya salah ^_^

Setiawan D Chogah :
Mbak Hylla Shane Gerhana:
Oooo, I get it. ya saya menangkap maksud pertanyaan Mbak Hylla. Yang saya sebutkan di atas itu adalah unsur penyusun lokalitas itu sendiri (bisa bahasa, dialeg, tempat, kebiasaan, mitos, dll). Ya kalau kita mau mengangkat mitosnya, jadilah dia cerpen lokalitas bermuatan horror. Atau kalau kita mengambil kebiasaan mereka berpantun, berdendang, dll mungkin nati jadinya cerpen lokalitas yang romantis. Begitu.

Terima kasih bantuannya Hardia Rayya. Benar sekali, lokalitas bisa dikawinkan ke semua genre tulisan.

Sependapat dengan Iman Safri Lukman :). Lokalitas itu bukan aliran. Tapi ide.

Retno Hotaru Handini :
Hadir! Tanya suker, Apakah boleh kita memadukan beberapa lokalitas dari daerah-daerah yang berbeda dalam satu cerpen?

Setiawan D Chogah ‎:
Hai Retno :). Boleh-boleh saja. Semakin banyak justru semakin bagus. Itu artinya kamu kaya akan wawasan. Saya pernah menulis tentang Minang dan Banten di cerpen saya "Mata Amiya" dalam antologi CINTA DALAM KOPER yang InshaAllah sebentar lagi akan terbit *Colek Dad Mayoko Aiko.

Retno Hotaru Handini :
Terima kasih suker untuk jawabannya.
Tanya lagi, Lalu bagaimana agar kita dapat memadukan beberapa lokalitas tersebut agar menjadi satu kesatuan tanpa ada pertentangan suker? Misalnya tuh, ketika kita berusaha memadukan lokalitas yang ini takutnya justru bertentangan dengan lokalitas yang itu. Kan jadi ribet suker, hehe. *Semoga ngerti sama maksud pertanyaan Retno, ribet sendiri, hehe*

Setiawan D Chogah ‎:
Retno Hotaru Handini:
Wiiih, kamu beneran di Seoul? Jangan dibikin ribet. Menulis itu terapi jiwa. Kalau ribet nanti malah jadi sakit jiwa. Hihihihihii. Pertentangan? Kalau in fact memang ada pertentangan antar 2 budaya lokalitas itu, ya sampaikan saja pertentangannya seperti apa. Justru itu akan semakin membuat cerpenmu menjadi menarik dan 'sesuatu'.

Retno Hotaru Handini :
Terima Kasih suker. Saya enggak di Seoul meski berharap bisa tinggal di sana walau beberapa hari saja, hehe.
Tanya lagi suker. Bagaimana jika saya menuliskan cerpen yang mengangkat lokalitas namun tidak memasukkan kosa kata (bahasa) tentang lokalitas tersebut? Jadi ceritanya hanya tentang kita yang menceritakan tentang daerah tersebut tanpa kita menggunakan kosa kata (bahasa) yang biasa digunakan di daerah tersebut. Yang seperti itu, masikah tergolong cerpen lokalitas suker?

Setiawan D Chogah ‎:
Retno Hotaru Handini
Selama kamu bercerita tentang unsur lokal (budaya, dialeg, adat istiadat, kebiasaan, juga bahasa), itu lokalitas. penggunaan kosa kata itu untuk menguatkan saja. Misal, kamu bercerita tentang Batak, lalu kamu gunakan kata euy, atau ondeh mandeh; jadinya gak logis. :)

AD Rusmianto :
TANYA : bagaimana mengasah kepekaan atau kejelian kita dalam menulis cerita tentang lokalitas? lokalitas mungkin tidak hanya sebatas sebuah gedung yang terkenal di daerah itu, atau nama makanannya, tapi juga karakter dari daerah itu sendiri. ya, karakter yang menjadikan kenapa dinamakan seperti itu. terima kasih.

Setiawan D Chogah ‎:

AD Rusmianto di Tasikmalaya:
Banyak membaca. Intinya, pelajari daerah yang akan kita angkat 'sesuatu'nya itu. Bisa dengan cara membaca buku, surfing, tanya temen, nonton, atau datangi langsung daerahnya.

Ndaa'Yolanda Agista Istokri :
TANYA : Apakah dalam menulis cerita tentang lokalitas harus sepenuhnya mengasah pada tema itu atau boleh dicampur adukkan dengan tema yang lain? Cara tergampang apa yang membuat tulisan bertema lokalitas dapat dinikmati pembaca dengan apik. Terimakasih.
*rada nggak nyambung

Setiawan D Chogah ‎ :
Ndaa'Yolanda Agista Istokri:
Tidak juga. Unsur lokalitas bisa dipadu dengan tema percintaan. Lokalitas itu hanya 'bahan', untuk penggarapan silakan saja penulis bereksperimen nyamannya di genre dan gaya yang bagimana. *iklan: silakan baca cerpen saya yang berjudul KIARA di Majalah Story edisi 18* :)

Ndaa'Yolanda Agista Istokri :
Tanya lagi : Apakah "Lokaliltas dalam Sastra" sangat terkait dengan peradaban Global?

Setiawan D Chogah ‎:
Ndaa'Yolanda Agista Istokri:
Would you repeat again in another word? Hahahhaa. Maksud saya pertanyaanya tolong disederhanakan lagi. ^^

Ndaa'Yolanda Agista Istokri :
Aduh aku juga bingung ngomongnya gimana, intinya apakah lokalitas dalam sastra itu terkait atau tidak dengan peradaban global "perbaikan pemikiran, tata krama, atau rasa" begitu. :)

Setiawan D Chogah ‎:
Ndaa'Yolanda Agista Istokri:
Gampangnya aja deh. Liat lagi ya pendekatan arti lokalitas yang saya copas dari Mbak Gugel. Begitulah lokalitas.

Ocuz Wina S :
Saat mendengar cerpen lokalitas kayak murid SMP disuruh ngerjain matematika sama fisika. :D
Yang ada dalam bayangan itu cerpen lokalitas itu harus kudu detail banget dengan suasana, setting juga budayanya. Emang harus begitu ya, Uda?

Setiawan D Chogah :
Pulinku Ocuz Wina S:
Siapa yang bilang begitu? Sini aku kirim ke kerajaan satwa. Heheheee. Tidak begitu juga Paulinku. Semisal di cerpenmu kamu berkisah tentang si aku yang tersesat di Hongkong, apa perlu si aku itu tahu Hongkong secara detail? *eh ini jawaban gue nyambung gak?*

Ocuz Wina S :
Hehehe...
Uda, apakah lokalitas itu hanya yang berhubungan dengan budaya/daerah di INA saja? Kalo kita menceritakan budaya, misalnya di HK, itu bukan masuk lokalitas, ya?

Setiawan D Chogah :
Paulinku Ocuz Wina S:
*pertanyaan berat* Berancak dari kata lokalitas berasal dari kata lokal yang secara harfiah artinya sebuah kawasan geografis terkecil. *bingung deh* Ya kalau bagi orang Indonesia lokalitas itu yang unsur kedaerahan di Indonesia, kalau bagi orang Malaysia ya mungkin lokalitasnya di daerah di malaysia. Gampangnya lokalitas itu mengandung unsur kearifan lokla, budaya, keunikan, bahasa, dan dialeg dari suatu daerah. :)

Dela BungaVenus :

Tanya : Apakah ada kendala jika menuliskan latar belakang lokalitas yang berbeda dari suku kita sendiri. Apa resikonya?

Setiawan D Chogah :

Mbak Dela BungaVenus yang baik:
Hehehee. Nah ini dia masalahnya Mbak. Saya pernah nulis cerpen tentang Labuhan Bajo. lalu cerpen itu dimuat dan dibaca pembaca. Lalu beberapa hari kemudian ada yang mengirimkan 'ralat' ke inbox saya. Intinya informasi yang saya sampaikan janggal. :)) *Kudu hati-hati*

Chaerul Akbar Al-Haq :
Tanya Mr. Awan :
Cerpen atau sebuah cerita yang memaparkan mitos yang seram dari suatu tempat, apakah termasuk lokalitas yang bergenre horor? Atau hanya sebatas cerita horor belaka? Begitu pula yang bersangkutan dengan legenda atau hikayat yang berbau action. Jenis cerita tersebut, apakah tetap dikatakan cerita lokalitas?

Setiawan D Chogah :
Chaerul Akbar Al-Haq:
Bisa jadi Mas, Chaerul. Sudah punya DSS? Sila buka halaman 197 :) Itu lokalitas yang mistis. :)

Iman Safri Lukman :
Saya nyimpulinnya gini SuKer Setiawan D Chogah, selama settingnya masih dalam lingkup geografis yang kecil (ditambah dengan hal spesifik yang diangkat dari daerah tersebut) maka itu bisa disebut lokalitas ya?
Atau gini, boleh settingnya beberapa tempat. Asal ide pokoknya tetap tentang 'hal spesifik' tadi. Benarkah?

Setiawan D Chogah ‎:
Iman Safri Lukman: Cocok! :))

Noes Junior :
Mas Suker. Apakah akan menimbulkan SARA jika saya menulis novel lokalitas yang tokoh utamanya dibuat parodi atau nyeleneh?
Contoh: Malin kundang yang dibuat karakternya menjadi seperti justien bieber.. Endingnya tetap sama: Karena bergaya hollywood dan tidak mau nurut sama emaknya, Malin kundang dikutuk jadi batu.
Tapi setting tempat, waktu, adat, budaya tidak ada yang dirubah hanya malin kundangnya dan tentunya dengan penambahan kejadian-kejadian jenaka di setiap plotnya.. seperti zaman samurai tiba-tiba ada sebuah robot.

Setiawan D Chogah :
Mas @noes:
Yang sama kan jalan ceritanya? Settingnya beda. Tidak ada yang melarang, cuma ketika novel itu terbit, siap-siap saja menjadi bahan perbincangan publik. Hahahahaa. Jadi gini Mas. Mas tau dong Meteor Gargen? Nah pernah gak nonton sinetron Indonesia yang judulnya Siapa Takut Jatuh Cinta? yang pemainnya Leoni, Roger, Steve, dll. Itu Meteor Garden ala Indonesia. Ceritnya sama, tapi orannya beda. Kira-kira ya begitulah. :)

Dia Gaara Andromeda :
Tanya :
Chocho ... *eh :p
Suker Chogah, begini saya mau tanya sesuatu tentang lokalitas. Yang simpel-simpel aja.
Kebetulan saya ini suka sekali nulis cerpen horor. Nah saya ingin membuat inovasi baru neh *ceila bahasanya*, saya ingin sekali mencampurkan lokalitas dengan horor, nggak masalah kan saya berbuat begini? Takutnya dianggap tabu aja, maklum lokalitas kan identik dengan kedaerahan yang kental banget. Jadi takut dianggap melanggar aturan gitu.
Tanya 2,
Saya baca di beberapa cerpennya Suker Chogah, mengangkat lokalitas minang, namun adakalanya suker Chogah, menulis sesuatu yang berbeda sekali, malah jauh dari lokalitas. Seperti yang pernah saya baca di cerpen suker Chogah di majalah HAI. Yah, jujur perpindahan jalur yang signifikan begini, masih sangat sulit saya kuasai dan susah menyiasiatinya. Merubah cara pandang sesuai warna majalah, agak sulit buatku, minta tips dan triknya dung suker untuk menyiasati perpindahan mainset yang disesuaikan dengan warna majalah ini. Makanya belum banyak majalah yang saya incar, terlebih koran belum kepikiran sama sekali.

Setiawan D Chogah :
Widong:
Jawab 1 :
Boleh Widiiiii. Loklitas itu kan gak hanya bahasa adatupun adat istiadat. Tapi juga dialeg, suasana tempat, mitos, makanan, kebiasaan, dan lain sebagainya tentang daerah itu.
Contoh: Masayakat Minang sudah tahu betul apa itu Si Jundai, Orang Bunian, Gasiang Tangkurak, dan Cindaku. Sementara mereka tidak begitu familiar dengan Gendoruwo, Kuntilanak, Tuyul, dan hantu-antuan Jawa lainnya. :)
Jawab 2:
Jawabannya nanti ya, beda tema soalnya. Nanti kita curhat-curhat di Kemsas. :)

Kaspul Darmawi :
satu hal yang kutakutkan jika menulis cerpen lokalitas bukan suku sendiri, yaitu terjebak SARA.... suker Setiawan D Chogah, bagaimana menghindari SARA dalam cerpen lokalitas?
bahkan ada penelitian ilmiah ternyata terkena unsur SARA, efeknya si penulis harus melaksankan upacara adat yang lumayan lah

Setiawan D Chogah :
Mas Kaspul Darmawi:
Selama di cerita itu kita tidak menjelek-jelekkan budaya daerah lain. Pertentangan SARA tidak akan terjadi kok Mas. Lain hal kalau penulis menulis pemikiran yang berbeda/ bertolak belakang dengan adat istidat daerah yang dia tulis. Sebenernya boleh saja, asalkan didukung oleh data yang akurat.
Hahahaaa. Mungkin itu sudah nasip si peneliti kali ya Mas. Itulah kehidupan. Punya rambu-rambu tertentu yang harus kita patuhi, ada norma adat, agama, pantangan dan lain sebagainya. Tinggal bagaimana kita saja menyisiasatinya. :) Yaaa, buat awal-awal kita garap tema lokalitas yang ringan dulula. :)

Al Zaytuniy Hidayat :
Met pagi... !! Kendari dari semalam belum nongol mataharinya. Langitnya keliatan mau sunrise trus.. Mas Suker, tanya juga: Kalau kita ngangkat lokalitas daerah yang sangat terpencil, yang bukan cuman daerahnya yang tak ada di Mas Globe, tapi semua hal yang menyangkut daerah itu, Mbak Gugel pun gak tau, kayaknya gak akan dimengerti oleh pembaca. Solusinya gimana?

Setiawan D Chogah :
Mas Al Zaytuniy Hidayat:
Pagi juga Masss/ apa Mbak? Hehehee. Maaf. Yang menulis kan penulisnya Mas. yang notabene sudah tentu paham betul dengan apa yang akan dia tulis. Terlepas pembaca mengerti atau tidak itu hak pembaca. Mungkin ini lebih ke teknik penceritaannya si penulis. Misal. Andrea Hirata menulis tentang Belitong. Sebelumnya saya tidak tahu Belitong. Setelah membaca Laskar pelangi saya bisa ber "Ooooo, jadi begitu tooooh." Bagian mana yang membutuhkan pengertian pembaca? Kita menulis cerpen kan menceritakan, meberi informasi dengan melaui karya fiksi. Jadi walaupun cerpen itu fiksi, bukan bearti semuanya kita fiksikan, harus sesuai logika juga. Jadi jangan takut pmbaca tidak akan mengerti.

Mayoko Aiko :
Suker Awan...
Bagaimana tulisan atau rasa lokalitas bisa dinikmati secara globalitas?
Kadang menjadi tantangan tersendiri mengglobalkan ide-ide lokal karena lokalitas kadang bersifat segmented.
Mohon saran.

Setiawan D Chogah :
Dad Mayoko Aiko:
Jawaban anak culun: Hahahaha. Haduuh, kudu hati-hati nih jawabnya. Hmmm, agak sulit buat saya Dad. Secara belum berpengalaman. Tapi pernyataan dad saya setuju 100%. Mungkin lain kali akan saya coba untuk mengglobalkan nuasa lokal. *Haseeek*.
Tapi kalau boleh berkaca pada beberapa senior saya *????* Andera Hirata dan Ahmad Fuadi, mereka mungkin boleh dikatakan telah sukses membuat ide-ide lokal menjadi global melalui tulisan mereka yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa itu. Atau juga melalui film barangkali. Semisal film Merantau, dan film bule yang waktu itu pernah syuting di Bali (saya lupa judulnya) Heheee.


Sumber :
Perpustakaan Yayasan Cendol Universal NikkO + MayokO AikO

0 komen: